Demokrasi dan Hukum yang Retak: Panggilan Nurani untuk Selalu Melek Politik dan Mengawal Pemerintah
Daftar Isi
![]() |
Credit to Idepers.com |
Sebagai seorang warga negara yang peduli terhadap masa depan Indonesia, saya merasa tergugah untuk menulis catatan ini. Perkembangan politik di tanah air semakin hari semakin memprihatinkan. Peringatan darurat Garuda Biru yang ramai diperbincangkan di dunia maya bukanlah sekadar isu yang lewat begitu saja. Ini adalah sebuah seruan yang menggetarkan nurani kita, memanggil setiap warga yang masih peduli terhadap penegakan hukum dan kelangsungan demokrasi di negeri ini.
Kita berada di titik kritis di mana hukum, yang seharusnya menjadi pondasi yang kokoh, kini mulai goyah dan diabaikan oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan pribadi atau golongan. Salah satu pemicu kuat dari kekhawatiran ini adalah polemik antara Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Revisi UU Pilkada. DPR, yang sejatinya merupakan representasi rakyat, justru mengambil sikap yang berseberangan dengan Putusan MK yang telah disepakati. Putusan yang seharusnya menjadi landasan hukum tersebut malah diabaikan begitu saja oleh DPR dengan alasan yang tidak masuk akal. Situasi ini bagi saya seperti menonton sebuah drama yang sangat ironis, di mana institusi yang diamanahkan untuk menjaga kedaulatan hukum justru terlihat mengabaikannya.
Sejak polemik ini muncul, banyak warga mulai bersuara. Mereka yang peduli terhadap nasib bangsa tidak tinggal diam. Beberapa memilih untuk turun langsung ke jalan, berdemo di depan gedung DPR. Tidak sedikit pula yang menggunakan media sosial sebagai platform untuk menyuarakan pendapat mereka, menjadikannya medan pertempuran baru dalam memperjuangkan keadilan. Namun, perjuangan ini bukan tanpa risiko. Banyak pendemo yang harus dilarikan ke rumah sakit akibat bentrokan dengan aparat. Beberapa bahkan ditangkap, padahal mereka hanya menyuarakan kebenaran atas ketidakadilan yang sedang terjadi di negeri ini. Ini adalah realitas pahit dari perjuangan di negara yang seharusnya menjunjung tinggi demokrasi.
Salah satu postingan yang cukup menggugah hati saya adalah sebuah kalimat sarkastik yang berbunyi, "Cuti nonton drakor, karena di DPR lebih banyak drama." Kalimat ini, meskipun sederhana, sangat mencerminkan betapa absurdnya situasi yang sedang kita hadapi. Alih-alih fokus bekerja untuk kepentingan rakyat, banyak anggota DPR justru terjebak dalam drama politik yang seolah tidak ada habisnya.
Saya juga terkesan dengan beberapa sindiran yang beredar di media sosial yang menyuarakan kekecewaan terhadap kondisi saat ini. Misalnya, dari IG @Arlikurnia yang menuliskan, "Sifat laki-laki mandiri artinya... tidak bergantung pada bapaknya." Postingan ini jelas ditujukan kepada putera mahkota “Raja Jawa,” yang secara terang-terangan didukung untuk menduduki jabatan strategis meskipun minim pengalaman.
Narasi.tv juga memberikan kontribusi penting dalam menyebarkan kesadaran politik melalui salah satu postingannya di Instagram: "Baik yang turun ke jalan maupun yang bersuara lewat media sosial, suaramu sama-sama menggema! Menggemakan suara rakyat dan hukum yang dirampas kalangan tertentu. Semoga suara-suara ini membuahkan hasil. Tetap kawal putusan MK, karena pembatalan revisi UU Pilkada belum resmi dilakukan DPR." Seruan ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus mengawal proses hukum dan demokrasi yang sedang berjalan, agar tidak ada pihak yang seenaknya mengubah aturan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Kekecewaan juga dirasakan oleh banyak rakyat yang melihat betapa tidak adilnya perlakuan antara mereka yang berkuasa dan rakyat biasa. Seorang pengunjuk rasa memposting foto dengan tulisan, "Rakyat kerja kena batas usia. Buat anak penguasa revisi seenaknya!" Ini adalah sindiran keras terhadap revisi aturan yang tampaknya dibuat hanya untuk menguntungkan anak-anak penguasa. Sementara rakyat biasa harus tunduk pada peraturan yang ketat, anak-anak penguasa dengan mudahnya bisa merevisi aturan demi kepentingan mereka sendiri. Ini bukan lagi soal keadilan; ini sudah menyangkut kesewenang-wenangan yang merusak tatanan hukum dan moral bangsa.
Kekecewaan yang sama juga disuarakan oleh netizen dengan akun Kabar.indonesia yang menuliskan, "Gak abis pikir Yura, dia umur 29 tahun ingin jadi gubernur dibantu satu istana padahal dia tidak punya pengalaman memimpin, rakyat biasa ingin kerja ditolak karena ga punya pengalaman kerja!" Postingan ini mencerminkan betapa sulitnya rakyat biasa untuk meraih mimpi mereka, sementara mereka yang memiliki koneksi kuat bisa mendapatkan apa saja tanpa harus bersusah payah.
Tidak hanya rakyat biasa, bahkan figur publik seperti Reza Rahadian pun turut menyuarakan kegelisahannya. Dalam salah satu pernyataannya, ia mengatakan, "Negara bukan milik keluarga!" Pernyataan ini sangat relevan dan berani di tengah situasi di mana keluarga penguasa tampaknya semakin mendominasi panggung politik. Ketika negara dikuasai oleh segelintir orang yang hanya peduli pada kepentingan pribadi, demokrasi akan hancur dan rakyat yang akan menjadi korbannya.
Sebuah ungkapan lain yang juga menarik perhatian saya adalah, "Nyenengin satu keluarga yang susah satu negara!" Kalimat ini menggambarkan betapa buruknya dampak dari kebijakan yang hanya dibuat untuk menguntungkan satu keluarga. Jika kebijakan semacam ini terus berlanjut, maka seluruh negara yang akan menanggung akibatnya. Kita sebagai rakyat harus sadar betapa pentingnya peran kita dalam menjaga agar hal ini tidak terus terjadi.
Tidak hanya itu, di media sosial muncul juga gerakan untuk memboikot dan memblokir akun artis pendukung penguasa. Seorang pengguna media sosial dengan akun Threads menulis, "Boikot dan blokir akun artis pendukung penguasa." Dalam gambar yang disertakan, ada tulisan, "Setan ada 2: satu setan dari bangsa jin, dua setan dari bangsa manusia. Yang pertama takut ayat kursi, yang kedua takut kehilangan kursi." Postingan ini jelas menyindir para penguasa yang lebih takut kehilangan kekuasaan daripada berbuat adil dan benar.
Seruan untuk mengambil peran sesuai kemampuan masing-masing juga muncul dari Boy Candra, yang menulis, "Bersuara dengan turun ke jalan dan bersuara di media sosial sama pentingnya. Ambil peran sesuai kemampuan saja." Ini adalah pengingat penting bahwa setiap orang dapat berkontribusi dalam perjuangan ini, baik melalui aksi di lapangan maupun dengan menggunakan suara mereka di media sosial.
Kutipan dari Nelson Mandela juga menjadi sangat relevan dalam situasi ini: "Penjahat itu tidak pernah membangun negara. Mereka hanya memperkaya diri sambil merusak negara." Kalimat ini adalah cerminan dari bagaimana pemimpin yang korup dan tidak adil akan menghancurkan negara, bukan membangunnya. Ketika pemimpin lebih mementingkan kekayaan pribadi dibandingkan dengan kesejahteraan rakyat, maka negara itu berada di ambang kehancuran.
Melihat semua ini, saya merasa bahwa kita sebagai warga negara tidak bisa lagi bersikap apatis. Kita harus melek politik dan selalu mengawal pemerintah. Demokrasi bukanlah sesuatu yang bisa kita biarkan berjalan tanpa pengawasan. Ia harus terus dijaga, diawasi, dan diperjuangkan. Apalagi di tengah situasi di mana hukum dan keadilan seolah mulai retak.
Sebagai seorang blogger, saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan hal ini. Blog ini bukan hanya sekadar catatan harian, tapi juga platform untuk menggugah nurani pembaca. Saya berharap catatan ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua bahwa peran kita dalam menjaga keadilan dan demokrasi sangat penting.
Jangan biarkan negara ini jatuh ke tangan mereka yang hanya peduli pada kekuasaan. Kita harus bersatu, baik di jalanan maupun di media sosial, untuk menggemakan suara rakyat yang sesungguhnya. Karena pada akhirnya, suara kita adalah kekuatan terbesar yang bisa menghentikan kesewenang-wenangan.
Mari kita terus kawal pemerintah dan pastikan bahwa keadilan tetap tegak di negeri ini. Jangan pernah lelah bersuara, karena ketika kita diam, mereka yang berkuasa akan semakin merajalela. Ingat, negara ini milik kita semua, bukan milik segelintir orang yang hanya peduli pada diri sendiri.
Posting Komentar
(maaf untuk tidak menyertakan link aktif dan spam)