Peringatan Darurat Garuda Biru, 21 Agustus 2024

Daftar Isi


Malam ini, langit terasa lebih kelam dari biasanya. Jam menunjukkan pukul 21:30, dan tiba-tiba dunia maya riuh dengan sebuah gambar yang tak biasa, garuda berwarna biru dengan tulisan "Peringatan Darurat." Saya, seperti banyak orang lainnya, tergelitik untuk mencari tahu lebih dalam. Apa arti dari simbol ini? Mengapa mendadak muncul dan menyebar begitu cepat di media sosial?

Ternyata, gambar tersebut pertama kali diunggah oleh akun Instagram kolaborasi @najwashihab, @matanajwa, dan @narasitv. Narasi.tv menjelaskan bahwa poster itu merupakan penggalan dari sebuah video lama yang diunggah oleh akun YouTube EAS Indonesia Concept pada 22 Oktober 2022. Video ini dibuat dengan konsep The Emergency Alert System (EAS) versi Indonesia, yang di Amerika Serikat digunakan sebagai sistem peringatan darurat nasional.

Ketika saya lihat status tersebut, ada rasa aneh yang menggelayut di benak saya. Meskipun hanya sebuah karya fiktif dengan tema analog horor, hal itu seakan membawa pesan yang lebih dalam, sebuah peringatan yang merasuk hingga ke dalam sanubari. Gaya video yang menggambarkan siaran TV nasional seperti TVRI tahun 1991 membawa kita kembali ke masa lalu, namun pesan yang disampaikan terasa sangat relevan dengan kondisi bangsa ini saat ini.

Demokrasi yang Terkikis

Saya jadi teringat sebuah kutipan dari Mohammad Hatta, "Demokrasi mati ketika rakyat tidak lagi memiliki hak untuk berbicara, sementara penguasa hanya mementingkan diri sendiri." Kutipan ini menggambarkan apa yang saya rasakan malam ini. Ketika rakyat semakin sering dibungkam dan suara-suara kritis dipaksa diam, apakah kita masih bisa menyebut diri ini sebagai bangsa yang demokratis?

Syaikh Dr. Musthafa Al-Siba'i pernah berkata, "Ketika orang bodoh memegang pena, penjahat mengangkat senjata, dan pengkhianat berkuasa maka sebuah negara berubah menjadi hutan belantara yang tidak layak ditempati manusia." Kata-kata ini terasa sangat relevan dengan apa yang terjadi di negeri ini. Para penguasa yang seharusnya mengemban amanah untuk menyejahterakan rakyat, justru seakan berubah menjadi predator yang memangsa rakyatnya sendiri. Bukan sekali dua kali kita mendengar kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi, tetapi hukum seakan lumpuh ketika berhadapan dengan mereka.

Peringatan Darurat Garuda Biru: Sebuah Simbol Kekecewaan

Peringatan Darurat Garuda Biru yang muncul di media sosial adalah sebuah panggilan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga demokrasi serta keadilan di Indonesia. Masyarakat merasa kecewa dan marah terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh para pemimpin yang seharusnya memikirkan kepentingan rakyat.

Salah satu pemicu munculnya peringatan ini adalah polemik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) versus Revisi UU Pilkada. Putusan MK yang seharusnya menjadi landasan hukum justru diabaikan oleh DPR dengan alasan yang tidak masuk akal. Saya sulit memahami bagaimana mungkin DPR yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru berseberangan dengan keputusan MK yang telah disepakati.

Saya semakin geram ketika membaca kutipan dari Pidi Baiq, "Rakyat adalah mulut yang menjadi bisu karena diambil suaranya waktu pemilu." Benar adanya, suara kita hanya dipinjam saat pemilu, dan setelah itu, kita menjadi bisu. Janji-janji manis saat kampanye seakan menguap begitu saja setelah para pejabat menduduki kursinya.

Malam yang Gelisah

Malam ini, hati saya benar-benar tidak tenang. Di depan laptop ini, saya mencoba menuangkan segala perasaan yang berkecamuk dalam pikiran saya. Ada kemarahan, kekecewaan, dan ketidakberdayaan yang seakan saling berebut tempat di dalam hati. Bagaimana mungkin, negara yang kita cintai ini perlahan-lahan berubah menjadi negara yang tidak pro kepada rakyatnya. Tidak ada rasa keadilan dan kesetaraan sosial.

Indonesia bukanlah milik satu keluarga atau golongan tertentu. Ada lebih dari 200 juta jiwa di negeri ini, yang semuanya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Tetapi, kenyataan yang kita saksikan setiap hari justru sebaliknya. Rakyat semakin terpinggirkan, sementara penguasa sibuk mengurus kepentingan mereka sendiri.

Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat negara yang seharusnya menjadi tempat berlindung, malah berubah menjadi medan perjuangan bagi rakyat yang hanya ingin hidup dengan layak. Kita semua berhak atas negeri ini, namun perlahan hak-hak itu direnggut satu per satu. Saya tidak bisa diam dan berpura-pura bahwa semua ini baik-baik saja. Sesuatu harus berubah, dan saya yakin bukan saya sendiri yang merasa demikian.

Semoga Allah SWT memberikan keadilan-Nya dan menghancurkan siapa pun yang menzalimi rakyatnya. Kita semua pantas mendapatkan pemimpin yang memikirkan nasib rakyatnya, bukan hanya memikirkan diri dan kelompoknya. Indonesia harus kembali menjadi milik semua, bukan hanya segelintir orang yang rakus.

Kita Harus Bertindak

Sebagai rakyat biasa, mungkin kita merasa tidak memiliki kuasa untuk mengubah keadaan. Namun, saya percaya bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil. Meningkatkan kesadaran, mengawal demokrasi, dan menyuarakan kebenaran adalah langkah-langkah kecil yang dapat kita lakukan.

Kita tidak boleh hanya diam dan menerima segala bentuk ketidakadilan yang terjadi. Kita harus tetap waspada dan kritis terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Jika kita diam, maka suara kita akan benar-benar diambil, dan kita akan menjadi bangsa yang hanya bisa menerima nasib tanpa perlawanan.

Harapan untuk Masa Depan

Di tengah semua kekecewaan ini, saya masih menyimpan harapan. Harapan bahwa suatu saat nanti, Indonesia akan memiliki pemimpin yang benar-benar peduli terhadap rakyatnya. Pemimpin yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri dan partainya, tetapi benar-benar bekerja untuk kesejahteraan seluruh rakyat.

Malam ini, saya berdoa agar Allah melindungi bangsa ini dari pemimpin yang zhalim, dan memberikan kita kekuatan untuk terus berjuang demi keadilan dan kebenaran. Semoga Indonesia segera dibebaskan dari para pemimpin yang hanya memikirkan diri mereka sendiri, dan kita bisa hidup dalam negara yang adil, makmur, dan sejahtera.

Ini bukan sekedar catatan harian biasa, ini adalah suara hati yang merindukan keadilan di tengah kebisingan politik yang tak kunjung reda. Semoga catatan ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa kita harus terus berjuang untuk masa depan yang lebih baik.

Posting Komentar